Politisasi Bansos di Indonesia: Karung Beras ke Suara Elektoral

Posted by:

|

On:

|

Politisasi Bansos di Indonesia: Karung Beras ke Suara Elektoral

Dalam lanskap politik Indonesia, bantuan sosial atau bansos adalah isu yang tak pernah absen, terutama menjelang perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu). Program yang seharusnya menjadi jaring pengaman sosial ini sering kali berubah fungsi. Bansos tak lagi sekadar membantu masyarakat miskin. Ia menjadi instrumen politik yang kuat. Dari karung beras hingga suara elektoral, jejak politisasi bansos semakin mengakar dalam anggaran negara, menciptakan pola yang sulit dihilangkan dan menjadi ancaman bagi integritas demokrasi.

Bansos: Transformasi dari Kemanusiaan Menjadi Komoditas Politik

Secara konsep, bansos adalah bentuk intervensi pemerintah untuk meringankan beban ekonomi masyarakat rentan. Namun, dalam praktiknya, esensi kemanusiaan ini sering dikaburkan. Bansos kini menjadi komoditas politik yang bisa diperdagangkan secara terselubung. Pembagian bansos seringkali dikemas dalam acara seremonial besar, menampilkan pejabat publik atau calon legislatif yang menyerahkan bantuan secara langsung. Foto-foto dan video pembagian bansos ini kemudian menjadi materi kampanye yang efektif di media sosial dan media massa.

Masyarakat yang menerima bantuan, seringkali merasa memiliki “hutang budi” kepada figur yang membagikannya, bukan kepada negara yang mendanai. Fenomena ini menggeser fokus dari program kesejahteraan publik yang seharusnya berbasis kebutuhan menjadi berbasis popularitas. Program yang seharusnya menjangkau yang paling membutuhkan, bisa jadi diarahkan ke basis massa atau daerah pemilih tertentu. Prioritas anggaran bansos bisa jadi meningkat tajam di tahun politik, menciptakan ketidakstabilan kebijakan dan pertanyaan tentang efektivitasnya dalam jangka panjang.

Membaca Angka dalam Anggaran Negara: Bukti yang Sulit Dibantah

Jejak politisasi bansos dapat terlihat jelas dalam data anggaran negara. Alokasi dana bansos, baik dalam bentuk pangan, tunai, atau program subsidi, seringkali melonjak signifikan menjelang Pemilu. Meskipun pemerintah selalu beralasan hal ini adalah respons terhadap kondisi ekonomi atau inflasi, waktu pelaksanaannya yang bertepatan dengan masa kampanye menimbulkan kecurigaan. Anggaran negara, yang seharusnya menjadi alat untuk pembangunan berkelanjutan, kini terancam menjadi “tabungan elektoral” bagi partai atau figur politik tertentu.

Lembaga-lembaga pengawas, seperti Bawaslu, sering kali kesulitan menindak praktik ini. Ada celah hukum yang membuat pembagian bansos sulit dikategorikan sebagai “kampanye ilegal.” Hal ini karena bansos adalah program resmi pemerintah yang legal. Akibatnya, praktik ini terus berulang dari Pemilu ke Pemilu, mengikis kepercayaan publik terhadap netralitas birokrasi dan integritas proses demokrasi. Praktik ini juga membangun budaya transaksional, di mana suara rakyat seolah bisa ditukar dengan bantuan materi.

Konsekuensi Jangka Panjang: Menggerogoti Fondasi Demokrasi

Politisasi bansos memiliki konsekuensi jangka panjang yang merusak. Pertama, ia menghambat perkembangan politik yang berbasis program dan ide. Alih-alih memilih pemimpin berdasarkan visi, rekam jejak, dan kebijakan, masyarakat didorong untuk memilih berdasarkan “hadiah” yang diterima. Kedua, ia melanggengkan sistem ketidaksetaraan. Daerah atau kelompok yang tidak menjadi target politik cenderung tidak mendapatkan bansos yang layak, padahal mungkin mereka adalah yang paling membutuhkan. Ketiga, ia melemahkan akuntabilitas. Pejabat yang menyalahgunakan bansos untuk kepentingan politik merasa tidak perlu bertanggung jawab atas kebijakan yang mereka buat, karena mereka sudah “membeli” dukungan.

Solusi yang Komprehensif: Mengembalikan Bansos ke Khitahnya

Menghentikan politisasi bansos adalah tantangan besar, tetapi bukan mustahil. Solusinya harus komprehensif. Pertama, diperlukan transparansi penuh dalam alokasi dan penyaluran bansos. Masyarakat berhak tahu dana tersebut berasal dari mana dan disalurkan ke siapa, tanpa embel-embel politik. Penyaluran bisa dilakukan secara anonim dan digital, tanpa melibatkan figur politik secara langsung di lapangan. Kedua, perlu ada penegasan hukum yang kuat dan tegas. Aturan yang jelas harus memisahkan program bansos dari aktivitas politik. Larangan penggunaan atribut partai atau foto calon pada kemasan bansos harus ditegakkan dengan sanksi berat. Ketiga, edukasi publik sangat penting. Masyarakat perlu disadarkan bahwa bansos adalah hak mereka sebagai warga negara, bukan hadiah atau pemberian dari figur politik tertentu. Bansos adalah uang rakyat yang dikelola negara untuk kepentingan rakyat.

Pada akhirnya, bansos harus kembali pada khitahnya: sebuah jaring pengaman sosial yang murni. Mengembalikan bansos dari komoditas politik menjadi hak asasi akan memperkuat fondasi demokrasi kita. Ini adalah langkah krusial untuk memastikan bahwa suara rakyat tidak lagi dibeli, melainkan didasarkan pada pilihan yang rasional, kritis, dan bebas.