Kalkulator Rakyat vs. Kalkulator Negara: Kontroversi Iuran Tapera
Isu iuran wajib Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) telah menjadi polemik panas yang mendominasi ruang publik. Skema ini mewajibkan pekerja, termasuk karyawan swasta dan mandiri, untuk menyisihkan 3% dari gajinya setiap bulan. Tujuannya adalah membantu pembiayaan perumahan. Namun, bagi sebagian besar masyarakat, skema ini menimbulkan kecemasan. Mereka merasa iuran Tapera lebih mirip pajak tanpa jaminan yang membebani, alih-alih tabungan yang menjanjikan. Ini adalah benturan tajam antara “Kalkulator Rakyat” dan “Kalkulator Negara”.
Kalkulator Rakyat: Beban Baru di Tengah Keterbatasan
Dari sudut pandang masyarakat, kalkulator ini adalah alat hitung yang sederhana dan realistis. Setiap potongan gaji terasa signifikan, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Kenaikan harga kebutuhan pokok, cicilan KPR, dan biaya hidup yang terus meningkat sudah membebani. Di tengah situasi ini, potongan tambahan sebesar 3%—1,5% dari gaji dan 0,5% dari perusahaan—dianggap sebagai beban baru yang tidak substansial. Mereka mempertanyakan, apakah potongan kecil ini benar-benar bisa menghasilkan uang muka untuk membeli rumah?
Selain itu, muncul ketidakpercayaan terhadap tata kelola dana publik. Kasus korupsi dana di lembaga-lembaga negara lain, seperti Asabri dan Jiwasraya, membuat masyarakat khawatir. Mereka takut dana yang disetorkan akan disalahgunakan atau hilang. Ini menjadi kekhawatiran yang sangat mendasar bagi mereka yang merasa bahwa jaminan dari negara tidak cukup kuat untuk melindungi uang hasil jerih payah mereka.
Kalkulator Negara: Ambisi Mengatasi Masalah Besar
Di sisi lain, pemerintah melihat Tapera dari kacamata “kalkulator negara.” Mereka menghadapi masalah besar: defisit pembiayaan perumahan (backlog) yang mencapai jutaan unit. Negara berdalih bahwa skema ini adalah solusi kolektif. Tujuannya adalah mengumpulkan dana besar untuk membiayai perumahan rakyat yang tidak terjangkau. Pemerintah berargumen bahwa tanpa partisipasi wajib dari seluruh sektor, dana yang terkumpul tidak akan mencukupi. Mereka juga menjanjikan bahwa dana ini akan dikelola secara profesional dan transparan.
Menurut kalkulator ini, iuran kecil dari jutaan pekerja akan menghasilkan triliunan rupiah. Dana ini nantinya bisa disalurkan sebagai kredit KPR dengan bunga rendah, atau membantu masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah melihat skema ini sebagai sebuah investasi jangka panjang untuk kesejahteraan rakyat secara luas. Namun, komunikasi dan sosialisasi yang kurang memadai membuat kalkulator ini gagal meyakinkan kalkulator rakyat.
Titik Benturan: Kurangnya Jaminan & Kejelasan
Benturan antara kedua kalkulator ini terletak pada faktor kepercayaan dan jaminan. Masyarakat memandang iuran Tapera seperti pajak karena mereka merasa tidak ada jaminan pasti bahwa mereka akan menerima manfaatnya. Berbeda dengan pajak yang bersifat wajib tanpa imbalan langsung, skema tabungan seharusnya memberikan jaminan. Sayangnya, skema ini belum memberikan kejelasan tentang siapa yang akan mendapatkan rumah, kapan, dan bagaimana prosesnya. Selain itu, masa depan dana yang disetor tidak jelas jika pekerja mengundurkan diri atau pensiun.
Jika pemerintah ingin meyakinkan “kalkulator rakyat,” mereka harus memberikan jaminan konkret. Jaminan itu harus berupa transparansi penuh dalam pengelolaan dana, payung hukum yang kuat, dan mekanisme pencairan yang jelas. Singkatnya, Iuran Tapera hanya akan diterima jika masyarakat merasa itu benar-benar adalah tabungan, bukan sekadar potongan gaji yang lain.