Jejak Leluhur vs. Aspal Ibu Kota: Konflik Tanah Adat IKN
Ambisi Indonesia untuk memiliki Ibu Kota Nusantara (IKN) baru adalah proyek pembangunan masif. Proyek ini menjanjikan modernitas dan pemerataan ekonomi. Namun, di balik rencana pembangunan yang gemerlap, terbentang peta panas konflik yang melibatkan masyarakat adat. Jejak leluhur mereka kini berhadapan langsung dengan aspal ibu kota. Ini adalah benturan kompleks antara hak-hak tradisional dan ambisi pembangunan nasional.
IKN: Harapan vs. Ancaman Bagi Masyarakat Adat
Pembangunan IKN Nusantara diproyeksikan membawa dampak ekonomi besar. Infrastruktur modern, lapangan kerja baru, dan peningkatan kualitas hidup adalah janji-janji utamanya. Namun, proyek ini juga membawa ancaman serius. Ancaman itu dirasakan oleh masyarakat adat seperti Suku Paser, Balik, dan Dayak yang tinggal di wilayah konsesi IKN.
Sejak lama, masyarakat adat telah hidup harmonis dengan alam. Mereka mengandalkan hutan dan tanah sebagai sumber penghidupan. Sumber daya ini juga bagian dari identitas dan spiritualitas mereka. Mereka memiliki sistem kepemilikan tanah adat yang diwariskan turun-temurun. Seringkali, sistem ini tanpa bukti formal yang diakui negara. Oleh karena itu, klaim-klaim mereka sering berbenturan dengan izin konsesi yang telah diberikan pemerintah.
Peta Konflik: Tanah, Lingkungan, dan Identitas
Konflik tanah adat di wilayah IKN bukan hanya tentang kepemilikan fisik. Ini adalah konflik yang berlapis:
- Klaim Hak Ulayat: Masyarakat adat sering mengklaim hak ulayat atas tanah yang kini menjadi bagian dari konsesi IKN. Mereka merasa hak-hak mereka tidak diakui dalam proses perencanaan.
- Dampak Lingkungan: Pembukaan lahan berskala besar dikhawatirkan akan merusak hutan adat dan sumber air. Keanekaragaman hayati juga terancam. Lingkungan adalah bagian tak terpisahkan dari identitas dan budaya mereka.
- Hilangnya Sumber Penghidupan: Penggusuran atau pembatasan akses ke hutan akan mengancam mata pencarian masyarakat adat. Mereka bergantung pada sumber daya alam.
- Erosi Budaya dan Adat: Hilangnya wilayah adat juga berarti hilangnya ruang untuk menjalankan ritual dan menjaga situs sakral. Pengetahuan lokal juga terancam. Oleh karena itu, identitas mereka terancam.
Mencari Titik Temu: Keadilan dan Keberlanjutan
Pemerintah telah berkomitmen untuk melindungi hak-hak masyarakat adat. Namun, implementasinya masih menjadi tantangan besar. Dialog yang inklusif, transparan, dan partisipatif adalah kunci. Pengakuan wilayah adat secara hukum harus menjadi prioritas. Hal ini memastikan masyarakat adat menjadi subjek aktif dalam perencanaan.
Pembangunan IKN diharapkan tidak hanya menjadi etalase modernitas. Ia juga harus menjadi contoh. Contoh bagaimana pembangunan dapat berjalan seiring dengan perlindungan hak asasi manusia. Begitu juga dengan keberlanjutan lingkungan. Menghormati jejak leluhur adalah fondasi. Fondasi ini penting untuk membangun ibu kota baru yang beradab. Singkatnya, ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk membuktikan bahwa kemajuan tidak harus mengorbankan keadilan.